Rabu, 06 Agustus 2014

Sekedar Cerita Tentang Kampung

Ini bukan sok-sok menyengajakan menulis tentang kampung setelah momen mudik kayak gini, hanya saja tulisan tentang kampung ini udah lama tersimpan di folder ‘Documents’ laptop. Jadi itung-itung menambah entri blog, lebih baik gue selesaikan dan post, daripada dipindahkan ke ‘Recycle Bin’.

Ngomongin soal kampung, mungkin sebagian besar dari kalian akan langsung merujuk pada tempat dimana orang tua kalian lahir, atau tempat tinggal Kakek-Nenek bahkan buyut kalian. Tapi buat gue, kampung itu adalah lokasi rumah gue, tempat gue berkembang sampai sekarang.

Saat lo mengisi identitas diri, pada kolom alamat, kata yang ditulis paling awal hampir pasti adalah “Jalan” atau disingkat “Jl.” lalu beberapa kata setelahnya diikuti “Kelurahan”. Berbeda dengan gue, kata yang selalu gue tulis paling awal adalah “Dsn.” Kependekan dari “Dusun”, dan setelahnya ada kata “Desa”.  Sedikit menggambarkan lokasi rumah gue?

Kalo membahas tempat tinggal, ingin rasanya gue berterima kasih kepada orang yang pertama kali membuat tahu. Karena berkat popularitas Tahu Sumedang, saat gue menjawab pertanyaan “Rumah lo dimana?”, dengan menjawab “Sumedang” saja udah selesai, dan untuk memastikan, si penanya cukup dengan memberikan clue “Oh, tahu ya?” yang perlu gue iya-kan.

Sayangnya sampai sekarang pembuat Tahu Sumedang pertama kali, belum bisa dipastikan.

Sumedang memang tercatat sebagai sebuah kota, kabupaten sih lebih tepatnya. Tapi untuk dianggap sebagai sebuah kota, Sumedang ini terlalu sepi. Makanya disebut ‘Kota leutik campeurnik’ yang berarti kota kecil yang cantik. Kalo Sumedang saja dianggap kota kecil, bagaimana dengan lokasi rumah gue yang masih berjarak 15 Km dari pusat kota Sumedang?

Namanya Rancakalong. Sebuah tempat yang (setau gue) cukup banyak terjadi pernikahan usia muda–karena sebagian yang melakukannya adalah temen SMP gue. Daerah ini hampir pasti tidak pernah terjadi macet–gue gak berani bilang ‘pasti’ karena setiap menjelang dan setelah lebaran selalu ramai dengan kendaran mudik karena dijadikan jalur alternatif. Dan jangan kaget kalo sewaktu-waktu lo masuk ke Rancakalong dan melihat pengendara motornya gak pakai  helm, karena memang helm digunakan hanya ketika mau pergi ke kota saja, itu pun sebagai pemenuhan syarat peraturan berlalu-lintas supaya gak kena tilang, bukan untuk pengaman kepala.

Yang paling menjadi ciri khas dari Rancakalong adalah suara knalpot motor. Entah kenapa sepertinya para pemuda Rancakalong menganggap bahwa sebuah motor hanya akan melaju jika knalpotnya diganti dengan knalpot yang bersuara kencang, seolah-olah kehadiran knalpot berisik ini jauh lebih penting daripada sepasang ban. Dan sepertinya sangat disayangkan kalo kehadiran knalpot itu dibiarkan begitu saja, makanya terdapat perbedaan cara menarik gas dengan motor pada umumnya, yang mana pengendara motor berknalpot berisik lebih sering menarik gasnya.

Jadi jangan heran kalo di Rancakalong, lo lebih dulu denger suara motornya dan 5 menit kemudian baru motornya lewat. Tingkat kreativitas di sini diukur dengan tingkat suara knalpot, ‘makin kencang suara knalpot motor anda maka semakin kreatif-lah anda’.

Di Rancakalong, motor lah yang berperan sebagai sarana hiburan. Manaiki motor sore-sore terlihat sangat mengasyikan, sekalipun tanpa tempat tujuan. Anak SD umur 9 tahun udah bisa bawa motor, orang tuanya pun sangat antusias untuk mengajarkan anaknya nyetir motor. Seolah-olah adalah keharusan mempunyai anak yang bisa nyetir motor, padahal yang lebih penting adalah membayar cicilan motornya hingga lunas.

Lahir dan tinggal di kampung bukan hal memalukan buat gue. Lagian kampung itu bagus, disana masih ada adat yang jadi ciri khas Indonesia, yaitu ramah-tamah. Sesama tetangga menganggap saudara, yang terkadang berbagi makanan atau hal lainnya. Gotong royong pun masih sangat kuat. Warganya punya rasa memiliki akan daerahnya sendiri, tidak sebatas tempat mengusir lelah setelah seharian mengejar duniawi. “Dengan nilai-nilai positif yang dimiliki kampung seharusnya kata ‘kampungan’ itu bermakna positif” itu kata Mamang gue. Dan gue setuju.


Gue emang kampungan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan baca sampai kalimat ini. Silahkan kembali lagi jika berkenan.