Ini bukan sok-sok menyengajakan
menulis tentang kampung setelah momen mudik kayak gini, hanya saja tulisan
tentang kampung ini udah lama tersimpan di folder ‘Documents’ laptop. Jadi
itung-itung menambah entri blog,
lebih baik gue selesaikan dan post,
daripada dipindahkan ke ‘Recycle Bin’.
Ngomongin soal kampung, mungkin
sebagian besar dari kalian akan langsung merujuk pada tempat dimana orang tua
kalian lahir, atau tempat tinggal Kakek-Nenek bahkan buyut kalian. Tapi buat
gue, kampung itu adalah lokasi rumah gue, tempat gue berkembang sampai
sekarang.
Saat lo mengisi identitas diri,
pada kolom alamat, kata yang ditulis paling awal hampir pasti adalah “Jalan”
atau disingkat “Jl.” lalu beberapa kata setelahnya diikuti “Kelurahan”. Berbeda
dengan gue, kata yang selalu gue tulis paling awal adalah “Dsn.” Kependekan
dari “Dusun”, dan setelahnya ada kata “Desa”.
Sedikit menggambarkan lokasi rumah gue?
Kalo membahas tempat tinggal,
ingin rasanya gue berterima kasih kepada orang yang pertama kali membuat tahu.
Karena berkat popularitas Tahu Sumedang, saat gue menjawab pertanyaan “Rumah lo
dimana?”, dengan menjawab “Sumedang” saja udah selesai, dan untuk memastikan, si
penanya cukup dengan memberikan clue “Oh, tahu ya?” yang perlu gue iya-kan.
Sayangnya sampai sekarang pembuat
Tahu Sumedang pertama kali, belum bisa dipastikan.
Sumedang memang tercatat sebagai
sebuah kota, kabupaten sih lebih tepatnya. Tapi untuk dianggap sebagai sebuah
kota, Sumedang ini terlalu sepi. Makanya disebut ‘Kota leutik campeurnik’ yang
berarti kota kecil yang cantik. Kalo Sumedang saja dianggap kota kecil,
bagaimana dengan lokasi rumah gue yang masih berjarak 15 Km dari pusat kota
Sumedang?
Namanya Rancakalong. Sebuah
tempat yang (setau gue) cukup banyak terjadi pernikahan usia muda–karena
sebagian yang melakukannya adalah temen SMP gue. Daerah ini hampir pasti tidak
pernah terjadi macet–gue gak berani bilang ‘pasti’ karena setiap menjelang dan
setelah lebaran selalu ramai dengan kendaran mudik karena dijadikan jalur
alternatif. Dan jangan kaget kalo sewaktu-waktu lo masuk ke Rancakalong dan
melihat pengendara motornya gak pakai
helm, karena memang helm digunakan hanya ketika mau pergi ke kota saja,
itu pun sebagai pemenuhan syarat peraturan berlalu-lintas supaya gak kena
tilang, bukan untuk pengaman kepala.
Yang paling menjadi ciri khas
dari Rancakalong adalah suara knalpot motor. Entah kenapa sepertinya para
pemuda Rancakalong menganggap bahwa sebuah motor hanya akan melaju jika
knalpotnya diganti dengan knalpot yang bersuara kencang, seolah-olah kehadiran
knalpot berisik ini jauh lebih penting daripada sepasang ban. Dan sepertinya sangat
disayangkan kalo kehadiran knalpot itu dibiarkan begitu saja, makanya terdapat
perbedaan cara menarik gas dengan motor pada umumnya, yang mana pengendara motor
berknalpot berisik lebih sering menarik gasnya.
Jadi jangan heran kalo di
Rancakalong, lo lebih dulu denger suara motornya dan 5 menit kemudian baru
motornya lewat. Tingkat kreativitas di sini diukur dengan tingkat suara
knalpot, ‘makin kencang suara knalpot motor anda maka semakin kreatif-lah anda’.
Di Rancakalong, motor lah yang
berperan sebagai sarana hiburan. Manaiki motor sore-sore terlihat sangat
mengasyikan, sekalipun tanpa tempat tujuan. Anak SD umur 9 tahun udah bisa bawa
motor, orang tuanya pun sangat antusias untuk mengajarkan anaknya nyetir motor.
Seolah-olah adalah keharusan mempunyai anak yang bisa nyetir motor, padahal
yang lebih penting adalah membayar cicilan motornya hingga lunas.
Lahir dan tinggal di kampung
bukan hal memalukan buat gue. Lagian kampung itu bagus, disana masih ada adat
yang jadi ciri khas Indonesia, yaitu ramah-tamah. Sesama tetangga menganggap
saudara, yang terkadang berbagi makanan atau hal lainnya. Gotong royong pun
masih sangat kuat. Warganya punya rasa memiliki akan daerahnya sendiri, tidak
sebatas tempat mengusir lelah setelah seharian mengejar duniawi. “Dengan nilai-nilai
positif yang dimiliki kampung seharusnya kata ‘kampungan’ itu bermakna positif”
itu kata Mamang gue. Dan gue setuju.
Gue emang kampungan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan baca sampai kalimat ini. Silahkan kembali lagi jika berkenan.