Selasa, 11 Februari 2014

Pujian itu diapain?


Akhir-akhir ini gue seneng banget, karena punya banyak waktu luang. Menurut gue, salah satu (atau mungkin satu-satunya) kelebihan kuliah di kampus swasta adalah punya banyak waktu luang. Gue jadi punya waktu buat ngutak-ngatik blog ini, baca-baca postingan menjijikan zaman dulu dan nulis postingan baru yang lebih jelas arahnya.

Ada beberapa tulisan terbaru yang lumayan mendapat respon dari yang udah baca (jarang-jarang ya ada yang baca).

Menjelang pemilu tahun ini yang kebetulan adalah kesempatan pertama gue punya hak pilih, mau gak mau gue harus nyari tau siapa aja yang mencalonkan diri jadi presiden. Akhirnya, gue memutuskan sepenuhnya untuk mendukung Anies Baswedan. Dan salah satu bentuk dukungan gue adalah dengan menulis tentang beliau, di entri Inilah yang kita cari, Anies Baswedan!. Tulisan itu gue share di twitter, dan mendapat tanggapan berikut:







Lalu, saking yakinnya gue akan sosok Anies Baswedan, gue sok-sok-an bagi-bagi tips untuk anak muda supaya bisa memberikan perubahan untuk Indonesia yang berupa 6 langkah sepele untuk perubahan Indonesia. Lagi-lagi gue share di twitter dan beberapa mention masuk:







Itu belum termasuk respon yang masuk lewat whatsapp dan BBM.

Liat tanggapan-tanggapan itu gue seneng, gue senyum-senyum sendiri, gue bangga, gue merasa jadi orang paling jago menulis. Gue merasa jadi orang hebat!

Lalu gue pikir-pikir lagi.. Segitu doang hal yang ingin gue capai? Segitu aja udah bikin puas dan bangga?

Saking jarangnya dipuji kali ya. Pernah sih dulu dapet pujian waktu ditantangin temen nyolong cucian celana dalem tetangga. Karena merasa tertantang gue lakuin dan berhasil. Temen-temen pada muji gue, sementara tetangga maki-maki gue. (Ah ini jangan dipercaya)

Gue inget pesan Raditya Dika, "Sering merasa kerdil adalah kunci menjadi hebat". Memang benar. Orang-orang hebat yang gue temui sebenarnya mereka sendiri merasa gak begitu hebat. Orang lain lah yang mencapnya hebat. Karena saat mereka merasa hebat, meraka akan berhenti belajar, berhenti berkarya. Merasa hebat itu ibarat menginjak rem. Perjuangan berhenti disana, saat dicapainya kepuasan.

Dan pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana seharusnya memperlakukan pujian itu?

Gue sekarang tau, kalo pujian itu kayak racun (dalam obat), jika pemakaiannya cukup bisa berdampak baik, kalo berlebihan malah bikin mabuk. Gue lalu menerjemahkan pujian itu sebagai bentuk apresiasi orang terhadap apa yang gue kerjakan. Dengan begitu, pujian itu seolah-olah adalah penyemangat. Makin banyak pujian makin semangat untuk terus melakukan yang lebih baik.

Jadi ada 2 pilihan memperlakukan pujian, menjadikannya titik akhir usaha dengan merasa puas atau menjadikannya penyemangat untuk terus berbuat sesuatu.

Terkesan menggurui gak sih? Jangan dong ya. Ini buat ngingetin diri gue sendiri aja sih. Jadi lain kali kalo gue mendapat pujian lagi, gue akan baca postingan ini, biar gue tau bagaimana cara memperlakukan sebuah pujian.


Dari orang yang merasa kerdil,


0 Komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan baca sampai kalimat ini. Silahkan kembali lagi jika berkenan.