Tinggi gunung
memang masih sama, tinggi sekali. Tapi sekarang kanan dan kirinya gak selalu
pohon cemara, kadang ada pohon pinus, pohon jati, terkecuali pohon maaf lahir
dan batin. Maaf plesetan.
Ini contoh yang kirinya danau, kanannya sampah. |
Dua minggu kemarin gue baru abis
dari gunung, melelahkan sih tapi setelahnya bikin mikir "abis ini mau gunung
mana lagi, ya?”. Capek karena pas berangkat gue gak tidur sama sekali, cuma
mejamin mata selama perjalanan dalam bis. Susah banget mata gue diajak kerjasama,
padahal jarak yang bakal gue tempuh setidaknya 7,8 Km (sampai lokasi
perkemahan) atau selama 3,5 jam menurut situs resmi Dephut—yang
pada kenyataannya gue butuh waktu dua kali lipatnya. Tapi untungnya gue bisa
sampai, walaupun sempet tertidur pas istirahat di salah satu pos yang kita
lewati.
Bisa-bisanya gue naik gunung tanpa tidur di malam sebelumnya, karena di momen lain gue pernah ada
jadwal kuliah pagi. Malamnya gue tidur cuma 3 jam, tapi susah bangunnya
minta ampun. Padahal jarak dari Kost ke Kampus gak lebih dari 10 menit pakai
motor, gak sejauh dan secapek naik gunung lah pokoknya. Dan saat itu gue menyerah, memutuskan untuk lanjut tidur ketimbang masuk kuliah. Dari 2 kejadian di atas, kesimpulan apa yang bisa jadi solusi agar walaupun gue kurang tidur masih sanggup pergi
ke Kampus? Gue kuliahnya di puncak gunung!
Satu hal yang gue tahu soal naik
gunung adalah naik gunung bukan situasi yang
pas untuk mengobrol. Karena menurut gue—dari pengalaman, saat kondisi lagi
capek, mengeluarkan suara hanya akan menambah rasa capek itu. Di awal
perjalanan obrolan-obrolan ringan mungkin masih bisa terdengar, namun begitu masuk
setengah perjalanan, saat tenaga mulai terkuras suasana akan sunyi
se-sunyi-sunyi-nya. Obrolan yang keluar paling:
Orang pertama: “Eh mau istirahat dulu gak nih?” → capek
dan inisiatif
Orang kedua: “Dikit lagi deh, di depan” →
capek tapi gak mau ngaku
Orang ketiga: “Udah lah disini aja” →
capek dan ngaku
Orang kedua: “Yaudah deh” → akhirnya ngakuin juga
Tapi walaupun lagi naik gunung, para pendaki gak meninggalkan ciri khas Indonesia yaitu keramahannya. Mau kenal
atau nggak, mau capek banget atau lelah sekali ketika saling berpapasan selalu
nyapa satu sama lain. Setidaknya dengan bilang “Mari bang..” yang lalu dijawab “Iyaa
bang..”. Ada juga yang sampai ke tahap basa-basi kayak "Naik gunung, Bang?", ya masa harus pura-pura gue jawab "Hah ini jalan ke gunung ya? Waduh salah jalan saya, tadinya mau ke mall".
Kalau diperhatikan lebih detail
lagi, selalu yang nanya lebih awal adalah pendaki dari arah puncak (atau yang
mau turun). Saat perjalanan gue menuju puncak menyisakan ¼ jarak lagi, kondisi
gue udah masuk ke tahap rutin-banget-lihat-ke-arah-depan-atas sambil mikir “Wah langitnya udah mulai kelihatan tuh,
dikit lagi nih” beberapa meter kemudian langitnya ketutup pepohonan lagi “kampret”. Di situasi seperti itu gue
ketemu rombongan yang akan turun, persis, mereka yang nyapa gue lebih dulu “Yo
bang, semangat..” biar gimana pun juga sunnah
muakad hukumnya buat gue jawab “Ya bang..”.
Orang kedua.. ketiga.. lewat dengan
ngasih semangat yang serupa, pengen banget rasanya gue jawab “Iyaa semangat, elo enak jalannya turunan
semua, lah gue?!”. Berasa ditipu langit berkali-kali, yang sesaat tergambarkan
kalau puncak itu di depan sana tapi kemudian hilang, akhiirnya gue tanya
pendaki lain yang menuju ke arah turun. Ini memang jarang terjadi, gue yang
nanya duluan.
“Bang..”
“Iya semangat, Bang!”
“Iya iyaa, ini udah semangat
banget kok. Puncak masih jauh ya?”
“Bentar lagi kok, paiing setengah
jam lagi, semangat!”
“Oh, makasih ya!”
Mendengar itu gue benar-benar
semangat—bukan
sekedar basa-basi lagi. Setengah jam berjalan, puncak masih belum kita injaki.
Gue masih husnudzon, mungkin meleset
dikit, paling beberapa menit lagi. Setengah jam kemudian, masih belum juga.
Baru setelah 1,5 jam sejak gue nanya pendaki tadi, puncak gunung berhasil gue injaki. Saat
itu gue sadar kalau manusia itu tempatnya salah dan khilaf, jauh dari kata
sempurna. Termasuk untuk mengukur waktu tempuh. Walaupun sempet kepikiran juga,
gue turun lagi terus nyamperin pendaki tadi dan bilang “Bang, katanya setangah jam doang sampe puncak, mana?!”, tapi itu
hanya akan membuang-buang waktu.
Sampai puncak, gue seolah dikasih
kesempatan bernafas dengan bebas. Untuk sementara gue terbebas dari keharusan
berjalan di atas tanah berkontur bebatuan terjal yang menanjak dengan
berkali-kali bertemu dengan pendaki lain—yang bisa saja ngasih info sedikit
meleset. Sekarang yang harus gue dan teman-teman pikirkan adalah bagaimana mendirikan
tenda, memasak dan tidur dengan nyaman hingga bangun besok pagi. Semuanya
berjalan dengan lancar, besoknya dari puncak Gunung Gede gue bisa menikmati keindahan
alam sekitar—yang
pastinya gak lupa gue abadikan.
“Yeaaah! Ini saatnya giliran gue nyemangatin mereka yang naik! HAHA!”
Sambil jalan turun gue pun
menyiapkan jawaban-jawaban jika nanti ada yang bertanya “Bang, puncak masih jauh ya?”.
Jawaban bisa disesuaikan tergantung dari motivasi kita atau respon mereka yang
diharapkan, misalnya:
§
Jika kita berharap mereka realistis dengan sisa
jarak tempuhnya, maka kita jawab dengan jujur:
“Wah masih jauh
bang, ada lah sekitar 2-3 jam lagi”.
Walaupun bisa saja mendengar jawaban ini, semangat
mereka menurun.
“Yah, masih jauh
ya ternyata”.
§
Jika kita berharap mereka jadi tambah semangat dengan
sisa jarak tempuhnya, maka kita jawab berbohong aja:
“Dikit lagi kok
bang, paling sepuluh menit lagi juga nyampe”
Tapi hati-hati aja kalau ketemu dia lagi. Bisa ditimpuk
pakai carrier.
Tapi berhubung gue ini benci
banget sama koruptor dan ingin korupsi hilang, makanya gue mulai membiasakan
diri berkata jujur dari diri sendiri dan dari hal terkecil—termasuk
situasi di atas. Dengan memegang prinsip Qulil
haqqo walau kaana murron, gue memutuskan akan menjawab pertanyaan “Bang,
puncak masih jauh ya?” dengan sejujurnya walaupun itu pahit. Gue akan
jawab dengan:
“Wah puncak ya bang? Masih jauh bang, jauh banget. Yakin kuat gak? ya
kalo saya boleh kasih saran sih mending sampai sini aja bang, apa mau ikut kita
turun aja yuk?”
Gitu lah kira-kira.
Begitu gue mulai jalan turun, gue
mulai melihat-lihat dari kejauhan pendaki lain buat dijadikan target man. Satu rombongan terlihat, begitu
berpapasan seketika gue bilang “Bang,
ayoo semangat!”, mereka cuma jawab dengan pelan “Iyaa..”. Haha! Menyenangkan rasanya.
Hidup itu berputar. Ada kalanya lo di perjalanan naik gunung, ada kalanya juga giliran lo yang turun gunung.
Pokoknya tiap ketemu pendaki yang
naik, gue selalu nyemangatin mereka sambil berharap ujungnya mereka bertanya “Bang, puncak masih jauh ya?”, agar
jawaban yang udah gue siapkan bisa gue keluarkan.
Begitu ketemu pendaki lain dan
gue sapa, dia gak nanya jarak menuju puncak.
Ketemu pendaki berikutnya...
sama.
Ada lagi rombongan... gak ada
satu pun yang bertanya.
Ketemu sama pendaki cewek—yang
gue kira dia udah cukup capek dan bertanya, dia malah nyemangatin balik “Ya bang, semangat juga!”
INI GAK ADA YANG MAU NANYA JARAK
KE PUNCAK, APA YA?!
Akhirnya gue memutuskan, gue
sendiri yang harus inisiatif:
“Bang, bang, gak penasaran jarak dari sini ke puncak apa? Ayo lah
tanyain! Saya tau jawabannya nih”.
Dia jawab:
“Oh kalau itu saya udah tau bang. Dari sini ke puncak itu jaraknya 3,5 Km, kalau kita jalan standar itu butuh waktu 1,6 jam, nah kalo jalannya cepet tanpa berhenti 1 jam juga sampe, tapi kalo banyak istirahatnya bisa makan waktu 3 jam sampe puncak, gitu bang”
BUSET! DIA PETUGAS TAMAN NASIONAL
TERNYATA!!!
Hingga gue sampai di pos awal
pendakian, jawaban yang gue siapkan untuk membalas orang-orang yang menuju arah
turun saat gue naik pun gagal gue keluarkan. Gue baru ingat sama salah satu Hadist
Riwayat Bukhari yaitu “Orang yang paling
dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam”.
Subhanallah ya.
Subhanallah ya.
Asem,,,, tenannn, lagu anak-anak sekarang ngetrend benerannn, naik ke puncak gunung beneran. Ihhh, iriii, Mazz, iriii
BalasHapusEits, tapi, hati-hati juga ya kalo foto narsis hihi
Nice, sukses!
Begitulah, hmm.. Mbak yang saya rasa punya fanatisme tinggi terhadap salah satu buah-buahan. hehe terima kasih!
Hapusahhahaha aku ngakak baca postingannya :))
BalasHapus*jujur kalo daki gunung sih belum pernah kak* tapi pernah nih ngalamin hal kayak gini pas trekking di TN Baluran, mungkin temen aku sampe cape dengerin aku nanya mulu "kapan sih nyampenya?"
hahahahha mau ngisengin orang ngasih tau jarak juga ga bisa, wong ga ada siapa2 lagi kecuali kami ber 4 saat itu :))
Bertanya "Kapan sin sampainya?" atau "Berapa lama lagi?" saat naik gunung itu cuma ngasih tau yg lain kalo kamu udah mulai capek. Dan biasanya temen ngejawab biar kamu tetap semangat, "bentar lagi kok, tuh di depan, yok!" hehe.
HapusMakasih sudah baca, ya!
Kok lucu lucu tulisannya :))
BalasHapus