Minggu, 21 Juni 2015

Naik Naik Ke Puncak Gunung

Tinggi gunung memang masih sama, tinggi sekali. Tapi sekarang kanan dan kirinya gak selalu pohon cemara, kadang ada pohon pinus, pohon jati, terkecuali pohon maaf lahir dan batin. Maaf plesetan.

Ini contoh yang kirinya danau, kanannya sampah.
Dua minggu kemarin gue baru abis dari gunung, melelahkan sih tapi setelahnya bikin mikir "abis ini mau gunung mana lagi, ya?”. Capek karena pas berangkat gue gak tidur sama sekali, cuma mejamin mata selama perjalanan dalam bis. Susah banget mata gue diajak kerjasama, padahal jarak yang bakal gue tempuh setidaknya 7,8 Km (sampai lokasi perkemahan) atau selama 3,5 jam menurut situs resmi Dephut—yang pada kenyataannya gue butuh waktu dua kali lipatnya. Tapi untungnya gue bisa sampai, walaupun sempet tertidur pas istirahat di salah satu pos yang kita lewati.

Bisa-bisanya gue naik gunung tanpa tidur di malam sebelumnya, karena di momen lain gue pernah ada jadwal kuliah pagi. Malamnya gue tidur cuma 3 jam, tapi susah bangunnya minta ampun. Padahal jarak dari Kost ke Kampus gak lebih dari 10 menit pakai motor, gak sejauh dan secapek naik gunung lah pokoknya. Dan saat itu gue menyerah, memutuskan untuk lanjut tidur ketimbang masuk kuliah. Dari 2 kejadian di atas, kesimpulan apa yang bisa jadi solusi agar walaupun gue kurang tidur masih sanggup pergi ke Kampus? Gue kuliahnya di puncak gunung!

Satu hal yang gue tahu soal naik gunung adalah naik gunung bukan situasi yang pas untuk mengobrol. Karena menurut gue—dari pengalaman, saat kondisi lagi capek, mengeluarkan suara hanya akan menambah rasa capek itu. Di awal perjalanan obrolan-obrolan ringan mungkin masih bisa terdengar, namun begitu masuk setengah perjalanan, saat tenaga mulai terkuras suasana akan sunyi se-sunyi-sunyi-nya. Obrolan yang keluar paling:

Orang pertama: “Eh mau istirahat dulu gak nih?” → capek dan inisiatif
Orang kedua: “Dikit lagi deh, di depan” → capek tapi gak mau ngaku
Orang ketiga: “Udah lah disini aja” → capek dan ngaku
Orang kedua: “Yaudah deh” → akhirnya ngakuin juga

Tapi walaupun lagi naik gunung, para pendaki gak meninggalkan ciri khas Indonesia yaitu keramahannya. Mau kenal atau nggak, mau capek banget atau lelah sekali ketika saling berpapasan selalu nyapa satu sama lain. Setidaknya dengan bilang “Mari bang..” yang lalu dijawab “Iyaa bang..”. Ada juga yang sampai ke tahap basa-basi kayak "Naik gunung, Bang?", ya masa harus pura-pura gue jawab "Hah ini jalan ke gunung ya? Waduh salah jalan saya, tadinya mau ke mall".

Kalau diperhatikan lebih detail lagi, selalu yang nanya lebih awal adalah pendaki dari arah puncak (atau yang mau turun). Saat perjalanan gue menuju puncak menyisakan ¼ jarak lagi, kondisi gue udah masuk ke tahap rutin-banget-lihat-ke-arah-depan-atas sambil mikir “Wah langitnya udah mulai kelihatan tuh, dikit lagi nih” beberapa meter kemudian langitnya ketutup pepohonan lagi “kampret”. Di situasi seperti itu gue ketemu rombongan yang akan turun, persis, mereka yang nyapa gue lebih dulu “Yo bang, semangat..” biar gimana pun juga sunnah muakad hukumnya buat gue jawab “Ya bang..”.

Orang kedua.. ketiga.. lewat dengan ngasih semangat yang serupa, pengen banget rasanya gue jawab “Iyaa semangat, elo enak jalannya turunan semua, lah gue?!”. Berasa ditipu langit berkali-kali, yang sesaat tergambarkan kalau puncak itu di depan sana tapi kemudian hilang, akhiirnya gue tanya pendaki lain yang menuju ke arah turun. Ini memang jarang terjadi, gue yang nanya duluan.

“Bang..”
“Iya semangat, Bang!”
“Iya iyaa, ini udah semangat banget kok. Puncak masih jauh ya?”
“Bentar lagi kok, paiing setengah jam lagi, semangat!”
“Oh, makasih ya!”

Mendengar itu gue benar-benar semangat—bukan sekedar basa-basi lagi. Setengah jam berjalan, puncak masih belum kita injaki. Gue masih husnudzon, mungkin meleset dikit, paling beberapa menit lagi. Setengah jam kemudian, masih belum juga. Baru setelah 1,5 jam sejak gue nanya pendaki tadi, puncak gunung berhasil gue injaki. Saat itu gue sadar kalau manusia itu tempatnya salah dan khilaf, jauh dari kata sempurna. Termasuk untuk mengukur waktu tempuh. Walaupun sempet kepikiran juga, gue turun lagi terus nyamperin pendaki tadi dan bilang “Bang, katanya setangah jam doang sampe puncak, mana?!”, tapi itu hanya akan membuang-buang waktu.

Sampai puncak, gue seolah dikasih kesempatan bernafas dengan bebas. Untuk sementara gue terbebas dari keharusan berjalan di atas tanah berkontur bebatuan terjal yang menanjak dengan berkali-kali bertemu dengan pendaki lain—yang bisa saja ngasih info sedikit meleset. Sekarang yang harus gue dan teman-teman pikirkan adalah bagaimana mendirikan tenda, memasak dan tidur dengan nyaman hingga bangun besok pagi. Semuanya berjalan dengan lancar, besoknya dari puncak Gunung Gede gue bisa menikmati keindahan alam sekitar—yang pastinya gak lupa gue abadikan.

Villa.. Villa..
Hingga tiba saatnya gue dan teman-teman turun gunung. Gue begitu excited.
Yeaaah! Ini saatnya giliran gue nyemangatin mereka yang naik! HAHA!

Sambil jalan turun gue pun menyiapkan jawaban-jawaban jika nanti ada yang bertanya Bang, puncak masih jauh ya?”. Jawaban bisa disesuaikan tergantung dari motivasi kita atau respon mereka yang diharapkan, misalnya:

§  Jika kita berharap mereka realistis dengan sisa jarak tempuhnya, maka kita jawab dengan jujur:
Wah masih jauh bang, ada lah sekitar 2-3 jam lagi”.
Walaupun bisa saja mendengar jawaban ini, semangat mereka menurun.
Yah, masih jauh ya ternyata”.
§  Jika kita berharap mereka jadi tambah semangat dengan sisa jarak tempuhnya, maka kita jawab berbohong aja:
Dikit lagi kok bang, paling sepuluh menit lagi juga nyampe
Tapi hati-hati aja kalau ketemu dia lagi. Bisa ditimpuk pakai carrier.

Tapi berhubung gue ini benci banget sama koruptor dan ingin korupsi hilang, makanya gue mulai membiasakan diri berkata jujur dari diri sendiri dan dari hal terkecil—termasuk situasi di atas. Dengan memegang prinsip Qulil haqqo walau kaana murron, gue memutuskan akan menjawab pertanyaan Bang, puncak masih jauh ya?dengan sejujurnya walaupun itu pahit. Gue akan jawab dengan:

“Wah puncak ya bang? Masih jauh bang, jauh banget. Yakin kuat gak? ya kalo saya boleh kasih saran sih mending sampai sini aja bang, apa mau ikut kita turun aja yuk?”

Gitu lah kira-kira.

Begitu gue mulai jalan turun, gue mulai melihat-lihat dari kejauhan pendaki lain buat dijadikan target man. Satu rombongan terlihat, begitu berpapasan seketika gue bilang “Bang, ayoo semangat!”, mereka cuma jawab dengan pelan “Iyaa..”. Haha! Menyenangkan rasanya.
Hidup itu berputar. Ada kalanya lo di perjalanan naik gunung, ada kalanya juga giliran lo yang turun gunung.
Pokoknya tiap ketemu pendaki yang naik, gue selalu nyemangatin mereka sambil berharap ujungnya mereka bertanya “Bang, puncak masih jauh ya?”, agar jawaban yang udah gue siapkan bisa gue keluarkan.

Begitu ketemu pendaki lain dan gue sapa, dia gak nanya jarak menuju puncak.
Ketemu pendaki berikutnya... sama.
Ada lagi rombongan... gak ada satu pun yang bertanya.
Ketemu sama pendaki cewek—yang gue kira dia udah cukup capek dan bertanya, dia malah nyemangatin balik “Ya bang, semangat juga!

INI GAK ADA YANG MAU NANYA JARAK KE PUNCAK, APA YA?!

Akhirnya gue memutuskan, gue sendiri yang harus inisiatif:

Bang, bang, gak penasaran jarak dari sini ke puncak apa? Ayo lah tanyain! Saya tau jawabannya nih”.

Dia jawab:

Oh kalau itu saya udah tau bang. Dari sini ke puncak itu jaraknya 3,5 Km, kalau kita jalan standar itu butuh waktu 1,6 jam, nah kalo jalannya cepet tanpa berhenti 1 jam juga sampe, tapi kalo banyak istirahatnya bisa makan waktu 3 jam sampe puncak, gitu bang

BUSET! DIA PETUGAS TAMAN NASIONAL TERNYATA!!!

Hingga gue sampai di pos awal pendakian, jawaban yang gue siapkan untuk membalas orang-orang yang menuju arah turun saat gue naik pun gagal gue keluarkan. Gue baru ingat sama salah satu Hadist Riwayat Bukhari yaitu “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang menaruh dendam”.

Subhanallah ya.

5 komentar:

  1. Asem,,,, tenannn, lagu anak-anak sekarang ngetrend benerannn, naik ke puncak gunung beneran. Ihhh, iriii, Mazz, iriii

    Eits, tapi, hati-hati juga ya kalo foto narsis hihi

    Nice, sukses!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah, hmm.. Mbak yang saya rasa punya fanatisme tinggi terhadap salah satu buah-buahan. hehe terima kasih!

      Hapus
  2. ahhahaha aku ngakak baca postingannya :))

    *jujur kalo daki gunung sih belum pernah kak* tapi pernah nih ngalamin hal kayak gini pas trekking di TN Baluran, mungkin temen aku sampe cape dengerin aku nanya mulu "kapan sih nyampenya?"

    hahahahha mau ngisengin orang ngasih tau jarak juga ga bisa, wong ga ada siapa2 lagi kecuali kami ber 4 saat itu :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bertanya "Kapan sin sampainya?" atau "Berapa lama lagi?" saat naik gunung itu cuma ngasih tau yg lain kalo kamu udah mulai capek. Dan biasanya temen ngejawab biar kamu tetap semangat, "bentar lagi kok, tuh di depan, yok!" hehe.

      Makasih sudah baca, ya!

      Hapus
  3. Kok lucu lucu tulisannya :))

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan baca sampai kalimat ini. Silahkan kembali lagi jika berkenan.