Kamis, 08 Mei 2014

Mimpi Sang Zombigaret

Suatu hari di sebuah antrean yang cukup panjang.

“Antreannya lumayan panjang ya” kata seorang pria di sebelahku berbasa-basi.

“Iya nih, pasti lama” jawabku berbasa-basi pula.

“Ah waktu itu gak terasa kok, kita saja sudah setua ini gak terasa kan?“ seketika pertanyaan itu seolah mengingatkanku kalau aku sudah berumur 40 tahun.

“Iya ya, sebenarnya masih banyak yang ingin aku capai, tapi..” kalimatku terputus, tiba-tiba pikiranku kembali ke 20 tahun yang lalu.

Dulu aku adalah anak muda yang yakin akan kekuatan mimpi. Aku ingin sekali menjadi seorang penulis. Mengunjungi toko buku dan melihat sebuah buku dengan namaku di cover-nya adalah impianku. Mendapatkan mention yang berisi twitpic bukuku dari pembaca yang baru saja membeli karyaku, tidak luput aku bayangkan akan terjadi ketika kelak impianku terwujud. Karena itu, setiap minggunya akan ada postingan baru di blogku sebagai upayaku mewujudkan mimpi itu. Buku-buku dari penulis senior pun selalu bertambah di sudut kamar kost-ku. Menjadi penulis adalah fokusku saat itu.

Usahaku mewujudkan mimpi sangatlah keras, tapi usahaku menghentikan kebiasaan merokok tidaklah sekeras itu. Tiap kali menulis, 3-5 batang rokok aku habiskan, tergantung sebanyak apa paragraf yang kubuat. Belum lagi saat nongkrong bareng teman, hampir semua temanku juga perokok, bahkan yang bukan perokok pun kebagian asapnya. Teman kan selalu saling berbagi, termasuk berbagi asap rokok, pikirku saat itu.

Suatu hari, aku mendapati bercak putih di bagian mulutku. Aku tidak kaget, namanya sariawan kan bisa hilang sendiri. Tinggal banyakin minum air putih saja juga sembuh, disamping itu rokok tetap menjadi teman setiaku. Tapi makin hari, bercak itu semakin meluas, lidah, gusi dan langit-langit mulutku terkena dampaknya.

Mulutku menjadi terasa masam. Dan aku pikir rasa masam itu biasanya hilang dengan merokok. Bukannya hilang, penyakit ini malah menjadi-jadi, terjadi perdarahan pada mulut yang tidak jelas sebabnya. Akhirnya dengan rasa malas, aku paksakan diri untuk pergi ke dokter sekedar ingin mengetahui penyakit apa yang sedang menerpaku. Kilatan petir rasanya menyambarku saat dokter bilang bahwa aku menderita kanker mulut. Dengan rasa sedih yang bercampur kecawa aku tanyakan cara apa yang harus aku lakukan untuk menyembuhkan penyakit ini pada dokter. Berhentiah merokok, adalah kalimat pertama yang dokter ucapkan.

Radioterapi dan Kemoterapi yang berbiaya mahal hingga mengorbankan kendaraan keluargaku, aku jalani demi kesembuhanku. Ketika dihadapkan pada pilihan kematian atau meninggalkan rokok, ternyata aku bisa juga berhenti merokok. Perlahan kesehatanku mulai membaik, walau harus menanggung efek samping dari terapi yang kulakukan. Sakit kulit dan rambut rontok adalah dua diantaranya. Tapi tak apa, yang terpenting aku masih bisa kembali mendekatkan diri pada mimpiku lagi, menjadi penulis.
  
Aku kembali melanjutkan naskah bukuku yang sempat kutinggalkan. Dan semakin kondisiku membaik, keinginanku untuk merokok muncul lagi. Aku seolah tidak pernah mendengar apa yang dikatakan dokter padaku. Kebulan asap kembali menutupi kamar kost-ku. Semakin banyak paragraf untuk naskah yang kuketik, semakin banyak pula jumlah batang rokok yang kuhisap.

Dengan tekun akhirnya naskahku rampung juga. Setelah aku baca ulang, akan kukirimkan naskah ini ke beberapa penerbit, niatku.

Karena beberapa hari ini waktuku dihabiskan didepan layar laptop sampai waktu tidur pun terpakai, aku melentangkan badan diatas tempat tidurku hingga terlelap.

Ketika bangun, aku merasa kesulitan untuk bernafas, suaraku menjadi serak dan darah keluar saatku batuk. Aku sudah tidak lagi berada di kamar kost, melainkan di rumah sakit. Kuraih cermin yang tak jauh dari jangkauan tanganku, kulihat ada benjolan pada leherku besar sekali. Bukan kanker mulut lagi yang aku derita melainkan kanker paru-paru.

"Sekarang aku benar-benar sadar bahayanya merokok, aku bersumpah tidak akan pernah merokok lagi!".

“Ah sudah terlambat, Zombigaretseseorang di sebelahku memotong perkataanku.

“Lho kenapa? Tidak ada yang terlambat kalo ada kemauan!” kataku tegas.

“Antrean dibelakangmu pada nunggu tuh, ayo maju! Sekarang gliranmu untuk ditimbang amal perbuatanmu semasa hidup dulu.”.

4 komentar:

  1. Ngeselin!!! Gak nyangka abisnya gitu-_-
    Keren, kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha sebelum nulis baca bukunya Om Sammy soalnya.. Makasih ya!

      Hapus
  2. Nyiptain kesan penasaran untuk baca tulisan itu tips banget, kak. Mampir blog gue juga sesekali, ya. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah abis itu gimana cara biar yg baca gak nyesel.
      Udah kok. Keren, sampe dikomentarin Alit kan? haha

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung dan baca sampai kalimat ini. Silahkan kembali lagi jika berkenan.